Tweet |
Penambang belerang di Ijen/ www. banyuwangitourism.com |
Minggu dinihari. Kalender sudah masuk hari ke-28 bulan ke-10 tahun 2012. Dan jarum jam menunjuk 01.20, waktu Jakarta. Sebuah feature tampil lewat stasiun yang kerap disebut tivi merah itu. Ceritanya, soal penambang belerang di Ijen. Gunung di utara Banyuwangi. Masih di tlatah Blambangan. Di situlah saya hanyut.
Suka duka “orang-orang Ijen” tersaji apik dalam tayangan
ini. Madrusin dan kawan-kawan penambangnya bertutur dalam kisah. Garis besarnya
soal tantangan sebagai penambang belerang. Berat. Penuh risiko. Mereka harus
berselimut asap beracun yang mengepul dari kawah. Menahan panas di kulit. Dan
memikul puluhan kilogram belerang. Dari pawon kawah ke Pos Pal Putih. Jaraknya
sekitar 3,3 kilometer. Satu kilogram dihargai Rp600.
Namun, ada bagian cerita yang membetot hati saya. Soal
interaksi para penambang dengan pendatang. Selain pemandangan kawah, para
penambang ini menjadi objek menarik di puncak Ijen. Terutama bagi pelancong
asing. Di zaman modern ini masih ada sistem kerja manual menambang di daerah
berbahaya seperti ini. Penambang mencongkel bongkahan dan lempengan belerang.
Mengangkut dengan manual pula ke tempat penampungan. Sebuah pemandangan yang
masih alami.
Madrusin dan penambang itu keberatan difoto oleh para pelancong. Para penambag
merasa dijadikan objek. Tapi tanpa bayar alias gratis. “Saya manusia, saya
bukan kera,” begitulah mereka berkeluh kesah. “Kalau tidak mau bayar ya foto
saja batu-batu itu. Minimal kasih lah uang rokok.”
Mendengarnya, saya semakin tercenung. Susah saya
ungkapkan. Dan memang tak perlu saya ungkap di sini. Yang jelas, saya sadar.
Sikap pelancong yang dikeluhkan itu bisa saja saya lakukan. Tanpa sadar. Tanpa
menimbang rasa para penambang itu. Sangat mungkin.
Saya pikir, para penambang itu ada benarnya juga. Mereka
punya hak untuk tidak difoto. Baik untuk koleksi pribadi, jurnalistik, atau
urusan lainnya. Mungkin ini juga bisa jadi pegangan di tempat-tempat lainnya.
Tak sembarang mengambil foto manusia. Tanpa restu objeknya. Tentu banyak juga
yang akan mendebat pendapat ini. Tapi rambu ini yang akan saya pegang.
Memang, Madrusin dan penambang lainnya bersikap ramah
pada pelancong. Mereka menawarkan untuk berfoto bareng. Tapi itu dengan harapan
ada imbalan. Itu yang mereka katakan. Dan saya harus memahami kondisi-kondisi
seperti ini. Apalagi yang memfoto itu datang ke sini untuk berwisata.
Bersenang-senang.
Saya berpikir para penambang ini sadar. Mereka telah
mengeksplorasi dan mengekslpoitasi potensi di situ. Baik alam maupun diri
mereka. Dengan berbagai motif, utamanya ekonomi. Karena mereka ada di situ
memang motivasinya ekonomi. Tentunya akan memaksimalkan apa saja yang bisa
dijadikan uang. Wajar saya kira. Dan saya—juga barang kali kita semua—harus
menghargai itu. Sebelum menulis di blog ini pun, saya berpikir, jangan-jangan
mereka akan menuntut saya jika membacanya. Entahlah. Yang jelas saya tidak
bermaksud mengeksploitasi mereka. Cukuplah membahas apa motivasi mereka di
sini.
***
Itu bukan satu-satunya pelajaran yang bisa saya ambil. Saya
juga melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan pelancong. Seperti di tempat
wisata lainnya, para penambang ini ternyata juga belajar bahasa Inggris dari
para pelancong asal luar negeri. Bahasa Inggris sekenanya. Logatnya pun
masih Osing. Kalau di Singapura ada Singlish—Singapore English. Di sini juga
ada Singlish. Tapi Osing English.
“Hello, selamat pagi,” sapa Madrusin pada pasangan
pelancong asing. “Happy, happy. Strong,” kata dia sambil mengangkat
pikulan kosong dengan tangannya. Seolah menunjukkan otot-otot kekarnya karena
setiap hari memikul beban puluhan kilogram.
“What your name?, saya Madrusin,” pria paruh baya itu
memperkenalkan diri. “Satu pikul, 90 kilogram. Satu kilogram, six hundred
rupiah,” Madrusin menjelaskann pada pasangan itu. Dan pasangan itu pun
mengimbangi pembicaraan ini. Madrusin pun menawarkan, “Foto-foto?”. Ah, sayang
kedua turis asing itu tak mau diajak berfoto. Itu artinya belum jadi rejeki
buat Madrusin.
Itu cerita saat Madrusin berjalan menuju ke kawah Ijen.
Saat berangkat untuk mengambil belerang. Di puncak, baru terlihat betapa berat
pekerjaan penambang ini. Mereka bergelut dengan asap dan panasnya uap air yang
menghantarkan belerang dari selang-selang raksasa.
Madrusin mengenakan masker yang sedari tadi menggantung
di leher. Dia sedikit lebih beruntung. Sebab telah memakai masker modern. Teman
lainnya, masih menggigit kaos basah untuk sekedar bernapas dalam kepulan uap
beracun itu. Madrusin mendapat masker modern itu dari pelancong. “Kalau tidak
dikasih tamu ya tidak pakai masker. Kalau yang pakai masker pasti itu dikasih
pengunjung. Saya dikasih tamu dari Spanyol waktu syuting selesai,” kata
Madrusin sambil menunjukkan masker yang punya dua corong (tabung) di samping
itu.
“Kalau ini rusak, ya pakai kain lagi. Yang seperti ini
mahal, tidak kuat belinya. Kalau masker yang biasa (dari kain) ya sama saja.
Lebih enak pakai kain dikasih air, lebih enak, dingin di hidung,” Madrusin
menambahkan.
Tibalah waktu makan siang. Madrusin beristirahat dengan
seorang temannya, Abdul Cholid Paing (31). Mereka membuka bekal nasi dengan
lauk sekedarnya. Bekal itu hanya dibungkus plastik seadanya. Kala itu memang
sudah siang. Angin berhembus kencang. Mengobrak abrik uap belerang beracun di
puncak itu. Dan Abdul Cholid pun tersedak sejadi-jadinya. Sementara Madrusin
berdoa. “Minggir solong, mingir solong (minggir dulu-minggir dulu), Masya
Allah.” Dia berharap uap itu menyingkir dari tempat mereka makan siang. Dan
memang saat itu layar di tivi seluruhnya putih. Tertutup uap dari kawah.
Abdul Cholid usianya lebih muda dari Madrusin. Namun, dia
mengaku kalah tenaga dari Madrusin. “Tenaga saya tidak seperti Pak Madrusin
yang kuat memikul satu kuintal. Saya tidak kuat,” katanya. Dia mengaku hanya
kuat membawa satu setengah pikul belerang dalam sehari. “Tiga pikul dua hari,”
katanya.
Abdul Cholid memang bercerita betapa berat hidup sebagai
penambang belerang. Beban hidup mereka lebih berat dari belerang-belerang yang
harus mereka pikul dari pawon ini menuju Pal Putih yang jaraknya 3,3 kilometer
itu. “Kalau kerja di sini fisiknya harus kuat. Kalau akal sudah tidak ada,”
itulah pengakuan Abdul Cholid dalam tayangan tivi ini.
Satu-satunya harapan adalah membawa tamu alias turis.
Itulah usaha yang bisa menambah pundi-pundi keuangannya selain dari memikul
beban belerang. “Setiap hari saya usahakan mengambil satu pikul dan membawa
tamu. Kalau tidak bawa tamu berarti rejekinya ya dari memikul itu,” katanya
pasrah. “Kalau mau pakai akal ya mengantar tamu. Sedikit-sedikit Bahasa
Inggris, kalau salah ya tidak apa-apa. Jual souvernir di sini ya tidak boleh
sama perusahaan.”
Ya, di puncak Ijen ini banyak keluarga menggantung
harapan. Menyambung hidup. Menurut salah satu teknisi sulfatara yang
diwawancarai tvOne—saya lupa mencatat namanya—di tempat ini ada sekitar 350
penambang. “Rata-rata (para penambang itu) menghidupi lima orang. Penambang,
istri, dan anggota keluarganya. Jadi ada sekitar 1.500 orang yang menikmati
hasil Kawah Ijen ini,” kata teknisi itu.
Mereka harus mengadu nasib di mulut pipa yang bersuhu 200
derajat celcius—tapi di sekitarnya, di mana para penambang berada tidak sampai
bersuhu sepanas itu. “Kalau di puncak itu 600 detajatcelcius. Pipa harus
disiram terus biar tidak terbakar,” kata teknisi itu. Berat memang. Tapi mereka
tidak menyerah. Tidak meratap. Tidak pula menangisi hidup mereka. Mininal tidak
“termehek-mehek” saat bertutur itu.
Berbagi Kisah, Informasi dan Foto
ReplyDeleteTentang Indahnya INDONESIA
www.jelajah-nesia.blogspot.com