Sunday, October 28, 2012

Memanusiakan “Orang-orang Ijen”


Share to:
Penambang belerang di Ijen/ www. banyuwangitourism.com
Niat menulis saya buyar. Konsentrasi rusak oleh tayangan di tvOne. Jadinya, saya hanya tercenung di depan tivi. Memaku mata lekat-lekat di layar 24 inci itu. Hampir setengah jam. Sepenggal riwayat Blambangan gagal terpapar di blog ini.

Minggu dinihari. Kalender sudah masuk hari ke-28 bulan ke-10 tahun 2012. Dan jarum jam menunjuk 01.20, waktu Jakarta. Sebuah feature tampil lewat stasiun yang kerap disebut tivi merah itu. Ceritanya, soal penambang belerang di Ijen. Gunung di utara Banyuwangi. Masih di tlatah Blambangan. Di situlah saya hanyut.

Suka duka “orang-orang Ijen” tersaji apik dalam tayangan ini. Madrusin dan kawan-kawan penambangnya bertutur dalam kisah. Garis besarnya soal tantangan sebagai penambang belerang. Berat. Penuh risiko. Mereka harus berselimut asap beracun yang mengepul dari kawah. Menahan panas di kulit. Dan memikul puluhan kilogram belerang. Dari pawon kawah ke Pos Pal Putih. Jaraknya sekitar 3,3 kilometer. Satu kilogram dihargai Rp600.

Namun, ada bagian cerita yang membetot hati saya. Soal interaksi para penambang dengan pendatang. Selain pemandangan kawah, para penambang ini menjadi objek menarik di puncak Ijen. Terutama bagi pelancong asing. Di zaman modern ini masih ada sistem kerja manual menambang di daerah berbahaya seperti ini. Penambang mencongkel bongkahan dan lempengan belerang. Mengangkut dengan manual pula ke tempat penampungan. Sebuah pemandangan yang masih alami.

Madrusin dan penambang itu keberatan difoto oleh para pelancong. Para penambag merasa dijadikan objek. Tapi tanpa bayar alias gratis. “Saya manusia, saya bukan kera,” begitulah mereka berkeluh kesah. “Kalau tidak mau bayar ya foto saja batu-batu itu. Minimal kasih lah uang rokok.”

Mendengarnya, saya semakin tercenung. Susah saya ungkapkan. Dan memang tak perlu saya ungkap di sini. Yang jelas, saya sadar. Sikap pelancong yang dikeluhkan itu bisa saja saya lakukan. Tanpa sadar. Tanpa menimbang rasa para penambang itu. Sangat mungkin.

Saya pikir, para penambang itu ada benarnya juga. Mereka punya hak untuk tidak difoto. Baik untuk koleksi pribadi, jurnalistik, atau urusan lainnya. Mungkin ini juga bisa jadi pegangan di tempat-tempat lainnya. Tak sembarang mengambil foto manusia. Tanpa restu objeknya. Tentu banyak juga yang akan mendebat pendapat ini. Tapi rambu ini yang akan saya pegang.

Memang, Madrusin dan penambang lainnya bersikap ramah pada pelancong. Mereka menawarkan untuk berfoto bareng. Tapi itu dengan harapan ada imbalan. Itu yang mereka katakan. Dan saya harus memahami kondisi-kondisi seperti ini. Apalagi yang memfoto itu datang ke sini untuk berwisata. Bersenang-senang.

Saya berpikir para penambang ini sadar. Mereka telah mengeksplorasi dan mengekslpoitasi potensi di situ. Baik alam maupun diri mereka. Dengan berbagai motif, utamanya ekonomi. Karena mereka ada di situ memang motivasinya ekonomi. Tentunya akan memaksimalkan apa saja yang bisa dijadikan uang. Wajar saya kira. Dan saya—juga barang kali kita semua—harus menghargai itu. Sebelum menulis di blog ini pun, saya berpikir, jangan-jangan mereka akan menuntut saya jika membacanya. Entahlah. Yang jelas saya tidak bermaksud mengeksploitasi mereka. Cukuplah membahas apa motivasi mereka di sini.
***
Itu bukan satu-satunya pelajaran yang bisa saya ambil. Saya juga melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan pelancong. Seperti di tempat wisata lainnya, para penambang ini ternyata juga belajar bahasa Inggris dari para pelancong asal luar negeri. Bahasa Inggris sekenanya. Logatnya pun masih Osing. Kalau di Singapura ada Singlish—Singapore English. Di sini juga ada Singlish. Tapi Osing English.

“Hello, selamat pagi,” sapa Madrusin pada pasangan pelancong asing. “Happy, happy. Strong,” kata dia sambil mengangkat pikulan kosong dengan tangannya. Seolah menunjukkan otot-otot kekarnya karena setiap hari memikul beban puluhan kilogram.

“What your name?, saya Madrusin,” pria paruh baya itu memperkenalkan diri.  “Satu pikul, 90 kilogram. Satu kilogram, six hundred rupiah,” Madrusin menjelaskann pada pasangan itu. Dan pasangan itu pun mengimbangi pembicaraan ini. Madrusin pun menawarkan, “Foto-foto?”. Ah, sayang kedua turis asing itu tak mau diajak berfoto. Itu artinya belum jadi rejeki buat Madrusin.

Itu cerita saat Madrusin berjalan menuju ke kawah Ijen. Saat berangkat untuk mengambil belerang. Di puncak, baru terlihat betapa berat pekerjaan penambang ini. Mereka bergelut dengan asap dan panasnya uap air yang menghantarkan belerang dari selang-selang raksasa.

Madrusin mengenakan masker yang sedari tadi menggantung di leher. Dia sedikit lebih beruntung. Sebab telah memakai masker modern. Teman lainnya, masih menggigit kaos basah untuk sekedar bernapas dalam kepulan uap beracun itu. Madrusin mendapat masker modern itu dari pelancong. “Kalau tidak dikasih tamu ya tidak pakai masker. Kalau yang pakai masker pasti itu dikasih pengunjung. Saya dikasih tamu dari Spanyol waktu syuting selesai,” kata Madrusin sambil menunjukkan masker yang punya dua corong (tabung) di samping itu.

“Kalau ini rusak, ya pakai kain lagi. Yang seperti ini mahal, tidak kuat belinya. Kalau masker yang biasa (dari kain) ya sama saja. Lebih enak pakai kain dikasih air, lebih enak, dingin di hidung,” Madrusin menambahkan.

Tibalah waktu makan siang. Madrusin beristirahat dengan seorang temannya, Abdul Cholid Paing (31). Mereka membuka bekal nasi dengan lauk sekedarnya. Bekal itu hanya dibungkus plastik seadanya. Kala itu memang sudah siang. Angin berhembus kencang. Mengobrak abrik uap belerang beracun di puncak itu. Dan Abdul Cholid pun tersedak sejadi-jadinya. Sementara Madrusin berdoa. “Minggir solong, mingir solong (minggir dulu-minggir dulu), Masya Allah.” Dia berharap uap itu menyingkir dari tempat mereka makan siang. Dan memang saat itu layar di tivi seluruhnya putih. Tertutup uap dari kawah.

Abdul Cholid usianya lebih muda dari Madrusin. Namun, dia mengaku kalah tenaga dari Madrusin. “Tenaga saya tidak seperti Pak Madrusin yang kuat memikul satu kuintal. Saya tidak kuat,” katanya. Dia mengaku hanya kuat membawa satu setengah pikul belerang dalam sehari. “Tiga pikul dua hari,” katanya.

Abdul Cholid memang bercerita betapa berat hidup sebagai penambang belerang. Beban hidup mereka lebih berat dari belerang-belerang yang harus mereka pikul dari pawon ini menuju Pal Putih yang jaraknya 3,3 kilometer itu. “Kalau kerja di sini fisiknya harus kuat. Kalau akal sudah tidak ada,” itulah pengakuan Abdul Cholid dalam tayangan tivi ini.

Satu-satunya harapan adalah membawa tamu alias turis. Itulah usaha yang bisa menambah pundi-pundi keuangannya selain dari memikul beban belerang. “Setiap hari saya usahakan mengambil satu pikul dan membawa tamu. Kalau tidak bawa tamu berarti rejekinya ya dari memikul itu,” katanya pasrah. “Kalau mau pakai akal ya mengantar tamu. Sedikit-sedikit Bahasa Inggris, kalau salah ya tidak apa-apa. Jual souvernir di sini ya tidak boleh sama perusahaan.”

Ya, di puncak Ijen ini banyak keluarga menggantung harapan. Menyambung hidup. Menurut salah satu teknisi sulfatara yang diwawancarai tvOne—saya lupa mencatat namanya—di tempat ini ada sekitar 350 penambang. “Rata-rata (para penambang itu) menghidupi lima orang. Penambang, istri, dan anggota keluarganya. Jadi ada sekitar 1.500 orang yang menikmati hasil Kawah Ijen ini,” kata teknisi itu.

Mereka harus mengadu nasib di mulut pipa yang bersuhu 200 derajat celcius—tapi di sekitarnya, di mana para penambang berada tidak sampai bersuhu sepanas itu. “Kalau di puncak itu 600 detajatcelcius. Pipa harus disiram terus biar tidak terbakar,” kata teknisi itu. Berat memang. Tapi mereka tidak menyerah. Tidak meratap. Tidak pula menangisi hidup mereka. Mininal tidak “termehek-mehek” saat bertutur itu.

1 comment:

  1. Berbagi Kisah, Informasi dan Foto

    Tentang Indahnya INDONESIA

    www.jelajah-nesia.blogspot.com

    ReplyDelete